Kamis, 27 Juni 2024

Melodi Kata: Menggemakan Harapan dan Impian di Malam Puncak Hari Lahir Kingdom Lab Art Ke-XVII

Perayaan Hari Lahir Kingdom Lab Art Ke-XVII x Melodi Kata 
(Dok. Kingdom Lab Art)

Dalam semangat merayakan perjalanan panjang dan penuh warna selama 17 tahun, Kingdom Lab Art menggelar acara spesial yang tak terlupakan. Puncak perayaan ini menampilkan kolaborasi unik dari salah satu ordo di Kingdom Lab Art, yaitu Ordo Sastra, dengan tajuk "Melodi Kata".

Sambutan dan Pemotongan Tumpeng

Acara diisi dengan beberapa sambutan dari Ketua Umum HMJ Biologi FMIPA UNM dan Ketua MBKM HMJ Biologi FMIPA UNM (LPM Bioma & MPA Gleocapsa) serta tentunya oleh Kakanda Demisioner Kepengurusan Kingdom Lab Art yang telah mendukung Kingdom Lab Art hingga saat ini. Mereka berbagi harapan dan doa untuk Kingdom Lab Art kedepannya agar terus berkarya dan mengekspresikan diri dalam berkarya seni sastra. Kemudian, sebagai simbol rasa syukur dan kebersamaan, dilakukan pemotongan tumpeng yang menandai malam puncak Hari Lahir Kingdom Lab Art ke-XVII pada Rabu, 26 Juni 2024.

Melodi Kata: Perpaduan Seni dan Sastra

Setelah acara seremonial, hadirin diajak menikmati pertunjukan mini yang memukau oleh Ordo Sastra. "Melodi Kata" menampilkan lima puisi dengan konsep yang berbeda-beda, menciptakan suasana yang kaya dan beragam. Puisi-puisi ini dipilih dari beberapa karya-karya varietas Kingdom Lab Art yang merepresentasikan keunikan dan keragaman kreativitas varietas Kingdom Lab Art dengan tema Harapan dan Impian.

Penampilan Puisi "Aku Pamit Kali Ini" karya Abdul Rahman oleh
 Nurul Afifah (Arthuporia XV)
(Dok. Kingdom Lab Art)

Dalam pentas mini "Melodi Kata" yang memukau, penampilan pertama dibuka oleh Nurul Afifah (Arthuporia XV) yang membawakan puisi "Aku Pamit Kali Ini" karya Abdul Rahman. Puisi ini adalah sebuah perjalanan emosional yang mendalam melalui perasaan cinta yang tak berbalas, keraguan, dan keputusan untuk melepaskan. Setiap bait menggambarkan perjuangan batin seseorang yang mencoba melupakan cinta yang tak pernah menjadi miliknya, cerminan dari kepedihan dan kebijaksanaan yang muncul dari pengalaman tersebut.



Penampilan Puisi "Merindu Lapang" karya Nurfathunnisa oleh 
Nurul Afifah (Arthuporia XV), Finesia (Arthuporia XV), dan Sri Damayanti (Arthuporia XVI)
(Dok. Kingdom Lab Art)

Penampilan kedua oleh Nurul Afifah (Arthuporia XV), Finesia (Arthuporia XV), dan Sri Damayanti (Arthuporia XVI) dengan puisi "Merindu Lapang" karya Nurfathunnisa, menggambarkan perjuangan batin seseorang yang merasa terjebak dalam kegelapan dan kesesakan hidup. Dengan kata-kata yang lirih dan penuh keputusasaan, puisi ini mengungkapkan rasa tak berdaya dan permohonan tulus kepada Tuhan untuk diberi kekuatan. Setiap baitnya mengajak kita merasakan kepedihan yang mendalam, seolah-olah kita sendiri yang berada dalam situasi tersebut.



Penampilan Puisi "Tak Sejalan" karya Abdul Rahman oleh 
St. Rahmawati S. (Arthuporia XV) dan Nur Azizah Radiah (Arthuporia XV)
(Dok. Kingdom Lab Art)

Penampilan ketiga oleh St. Rahmawati S. (Arthuporia XV) dan Nur Azizah Radiah (Arthuporia XV) dengan puisi "Tak Sejalan" karya Abdul Rahman, mengeksplorasi perasaan terjebak dalam cinta yang tak mungkin bersatu. Harapan dan kenyataan saling bertentangan dalam setiap bait, menyampaikan betapa sulitnya melepaskan sesuatu yang tak sejalan dengan masa depan yang diharapkan. Kata-kata yang menyentuh dan mendalam membuat kita merasakan pergulatan emosi yang penuh dengan ketidakpastian dan keraguan.



Penampilan Puisi "Tak Sejalan" karya Abdul Rahman oleh 
Athifa Afdhalia (Arthuporia XIV)
(Dok. Kingdom Lab Art)

Penampilan keempat oleh Athifa Afdhalia (Arthuporia XIV) yang membawakan puisi "Pemimpi yang Lupa pada Mimpinya" karya Fitri Ramadani, menyelami kedalaman hati seorang pemimpi yang tersesat dalam ketakutannya sendiri. Dengan kata-kata yang tajam dan introspektif, penulis menggambarkan perjuangan batin seseorang yang merasa terjebak dalam bayang-bayang ekspektasi orang lain, melupakan mimpinya sendiri, dan terperangkap dalam kebimbangan. Setiap baris mengungkapkan keraguan, kesedihan, dan rasa kehilangan akan identitas diri.


Penampilan Puisi "Bahagia dan Luka" karya Sheptiani Caesar Hasan oleh
Lovely Grace Rimba (Arthuporia XV) dan Septika Kurnia Utami (Arthuporia XVI)
(Dok. Kingdom Lab Art)

Penampilan kelima menampilkan Lovely Grace Rimba (Arthuporia XV) dan Septika Kurnia Utami (Arthuporia XVI) dengan puisi "Bahagia dan Luka" karya Sheptiani Caesar Hasan. Puisi ini adalah refleksi dari pengalaman mendalam tentang cinta yang penuh dualitas—kebahagiaan yang tak terelakkan dan luka yang tak terlupakan. Dengan kata-kata yang puitis dan penuh makna, puisi ini mengilustrasikan bagaimana pecahan-pecahan kenangan dan harapan yang hancur bisa meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di hati. Melalui penampilan ini, kita diajak untuk merenungkan tentang keindahan dan kepedihan yang seringkali berjalan beriringan dalam hidup.

Malam itu, Melodi Kata bukan hanya sekadar pentas puisi, tetapi juga sebuah perjalanan emosi dan pemikiran yang menyentuh. Setiap puisi diiringi dengan melodi yang indah, menciptakan harmoni antara kata-kata dan musik yang mampu menggugah perasaan penonton.

Dengan semangat kebersamaan dan dedikasi yang kuat, Kingdom Lab Art telah menciptakan momen istimewa yang akan selalu dikenang. Semoga di usia yang ke-17 ini, Kingdom Lab Art terus berkembang dan menginspirasi lebih banyak orang melalui karya seni dan sastra.

Selamat Ulang Tahun Kingdom Lab Art yang ke-XVII! Tetap berkarya dalam keterbatasan!

Rabu, 19 Juni 2024

PUISI: Pemimpi yang Lupa Dengan Mimpinya - Fitri Ramadhani

 Aku manusia pengecut yang takut untuk bermimpi

Yang selalu menyibukkan diri dengan cerita 'mereka'

Bagiku, hidup adalah bagaimana caraku memuaskan ekspektasi

Malamku sudah habis dilahap tangisan tersedu

Ragaku kosong, terkunci, di sudut yang tak pernah dijamah mata manapun

 

Manusia satu ini tidak tau caranya bermimpi

Ia hanya menyalin apa yang dimimpikan orang lain

Lalu mengharapkan validasi atas plagiatnya

Tulisannya yang dulu sempat menari-nari

Seakan amnesia

Lupa apa yang ia ceritakan dalam torehnya

 

Kadang mereka bertanya,

Kelabu mana yang lebih kusuka

Aku tidak tau

Aku lupa dengan warna itu

 

Yang samar kutau

Aku adalah seorang pemimpi yang malu dengan mimpi-mimpinya

Menguburnya dalam2,

dan lupa, apa pernah?

Seorang pengecut, yang bersembunyi dibalik mimpi manusia lain

Mengoreksi kanvasnya,

sedang kanvasku, dimana?

 

Aku hanya pemimpi yang lupa dengan apa yang pernah dimimpikannya

Takut dengan kegagalan dan kemungkinan lainnya di masa depan

Mungkin aku hanyalah pengecut, yang berlindung dengan lupa

Setelah ditelanjangi ekspektasi

Lalu dikubur hidup-hidup bersama yang kau sebut mimpi itu

Berjalan dengan kaki yang gemetaran menerka, nanti akan jadi apa?

 

Lantas? Apa salah jika aku memilih tenggelam dalam lupa?

Selasa, 04 Juni 2024

PUISI: Tak sejalan - Abdul Rahman

 Hari bertamu semakin sering

Waktu bahkan telah usai menemani

Hingga hanya menyisakan kenangan perlahan berkabut mengudara

 

Perasaan tak lagi meronta

Imajinasipun tak lagi menggebu

Semua terpejam dalam belenggu yang mulai merana dalam kata mimpi dan harapan

 

Antara hukum semesta atau perasaan

Semua saling berbenturan sungguh tak sejalan

Satu sisi berusaha pasrah

Namun sisi yang lainnya malah tersiksa dan terluka

 

Menjauhinya sungguh pahit

Melepasnya sungguh berat

Namun sebagai manusia yang paham

Kembali kutelan dalam ikhlas dan pasrah

Meski tak segampang katanya

Itulah harga sebuah kebenaran

 

Semakin lama belenggu rasa telah memenjarakan

Bahkan melukai batin hingga menggerus ribuan mimpiku

 

Keputusannya adalah bumerang bagiku

Meski tersirat makna kebaikan antara kita

Tapi nyatanya menyakiti bahkan membunuh tak bersisa

Hingga untuk menyesap udarapun terasa pekat dan pahit

 

Logikaku bahkan melupa ragaku

Rasaku bahkan melupa hatiku

Hingga cintaku bahkan melupa siapa diriku

 

Salahkah jika aku mengeluh wahai harapan?

Salahkah jika aku bersedih wahai harapan?

 

Pada akhirnya semua sebatas imingan mimpi tak berbuah nyata

Berharap akan waktu yg memihak

Nyatanya sebatas tikaman yg menenggelamkan

 

Kali ini aku menyerah

Berjuang pun rasanya terlalu diluar kuasa

Bahkan Ku tak ingin berharap lebih karena ku sadar aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa malah

 

Aku sadar duniaku dan duniamu berbeda

Bahkan diriku bukanlah bagian dari masa depanmu

Tak pantas rasanya aku berharap apalagi bertahan jika kau tak menginginkan

Tentunya dengan melepas dirimu dalam logika dan hatiku adalah pilihan di hari-harimu

Aku rela meski cukup berat dan menyesakkan untukku

 

Biarlah kutitipkan dirimu dan rasaku kepadanya

Biarlah kau menjadi kenangan termanisku

Dan biarlah waktu yang jadi penyembuh lukaku

PUISI: AKU PAMIT KALI INI - Abdul Rahman

Telah ku coba membangun rasa yang sebatas sisa

Telah ku coba menguatkan asa yang sebatas tekat

Dan telah ku coba mengejar mimpi yang sebatas cerita

Namun nyatanya berkahir percuma

 

Semakin kuat inginku melupa

Semakin kuat juga kau mengisi memoriku

Semakin lapang hatiku merelakan

Semakin lapang juga hatiku dengan namamu

 

Kadang kusandarkan harapan di dalam hati

Kurenungkan mimpi tentangmu,

Tentang kita

Walau sebatas sua

Tapi selalu kepahitan takdir yg ku buai

 

Nyatanya harapan ku tak memihak

Rasaku tak berbalas malah tak kau inginkan

Bagimu aku hanyalah teman saat kau butuh atau teman yg keberadaanya tak kau anggap

 

Haruskah kupertahankan rasa ini?

Atau haruska kuruntuhkan mimpi ku ini?

Aku harus bagaimana?

 

Aku yakin rasa yg muncul padaku tak sama padamu

Aku yakin hadirku hanyalah persinggahan untukmu

Dan aku yakin sangat tak berarti bagimu hingga keberadaanku pun kau lupa

Sungguh pahit dan miris

 

Selama ini kulapangkan hatiku

Kusandarkan harapanku

Kupercayakan mimipiku padamu bahkan kudengungkan namamu dalam penghambaanku

Nyatanya semua terbilang percuma

 

Aku telah mencinta orang yang salah

Aku telah mencinta orang yang tak mengharapkanku

Dan aku telah mencinta orang yang tak pantas untukku

Sungguh aku telah menggores lukaku sendiri nyatanya

Dan aku sangat membenci kebodohanku

 

Begitu memilukan untuk ragaku dan begitu tersiksa untuk batinku

Sepertinya aku memang terlahir sebagai mainan bagimu

 

Tak adakah sedikit saja rasa pedulimu untukku?

Bahkan apa yang telah ku korbankan apa hanya sebatas candaan bagimu?

Kau yang kuharap nantinya sebagai penuntunku malah meninggalkanku dalam kepekatan nasibku

 

Kenapa harus aku?

Tak bisakah bahagia sedikit saja memihakku? Tak bisakah sekali saja pahami aku?

Tak bisakah aku mencicipi rasa yang sama dengan inginanku?

Tak bisakah perasaanku sedikit saja terbalas?

 

Kenapa...?

 

Hidupku selama ini begitu buruk

Aku kira kelamnya hariku akan berubah pada akhirnya nyatanya malah makin pekat

Rasanya sesak menutupi seluruh rongga tubuhku

Dan berakhir dengan kecewa untuk yang kesekian kalinya

 

Terima kasih

Aku pamit kali ini

Semoga dialah mimipi dan harapanmu

Dan semoga kau bahagia


Lalu yang Pernah Ada

Sesingkat jeda antar detik,  namun lebih abadi dari ukiran. Sanggup untuk dikenang, namun tak lagi bisa diulang: waktu denganmu. faa _